Sabtu, 25 Desember 2010

Pasar Obat-obat herbal Meningkat Pesat

Pertumbuhan obat herbal lebih cepat dari obat modern. Diperkirakan pada 2010 pasar obat modern mencapai Rp 37,5 triliun dan obat herbal Rp 7,2 triliun. Back to nature, kembali ke alam, kini menjadi semboyan masyarakat modern. Mereka merindukan segala sesuatu yang selaras, seimbang, dan menyejukkan yang diberikan alam.
Hasil teknologi yang sebelumnya diagung-agungkan sebagai sebuah terobosan besar dalam peradaban manusia ternyata tidak sepenuhnya berdampak positif. Sering kali hasil teknologi canggih justru menimbulkan ekses dan dampak negatif. Dalam industri farmasi, misalnya, obat-obatan kimia yang banyak diproduksi perusahaan farmasi dengan teknologi modern, diyakini menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Ini terkait dengan penggunaan unsur-unsur kimia yang ada di dalamnya. Karena itu, ada kecenderungan masyarakat kini beralih ke obat-obat herbal yang alami untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Banyak yang meyakini, obat herbal tidak memberikan dampak negatif pada kesehatan karena tidak mengandung bahan kimia. Tak heran jika kemudian pasar obat herbal mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Bahkan, menurut Ketua Bidang Industri Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Ferry A Soetikno, pertumbuhan obat herbal saat ini lebih cepat daripada modern.
Menurutnya, pada awal abad ke-21 (tahun 2000), pasar obat herbal mengalami peningkatan signifikan di Asia (RRC, Korea, India, Thailand, dan Malaysia) dan Eropa Barat. ”Di Indonesia, pasar obat herbal juga mengalami peningkatan yang pesat,” katanya pada seminar Peningkatan Daya Saing Obat Alami Melalui Penerapan Iptek, di Jakarta, beberapa waktu lalu, Mengutip data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ferry menjelaskan, pada 2003 pasar obat modern di Indonesia mencapai Rp 17 triliun dan obat herbal Rp 2 triliun.
Kontribusi obat herbal mencapai 10,5 persen. Pada 2005 pasar obat modern naik menjadi Rp 21,3 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada obat herbal yang mengalami peningkatan menjadi Rp 2,9 triliun. Ini berarti ada kenaikan kontribusi obat herbal menjadi 12 persen. Diperkirakan pada 2010, pasar obat modern mencapai Rp 37,5 triliun dan obat herbal Rp 7,2 triliun.”Pertumbuhan obat herbal ternyata lebih cepat dari obat modern,” ungkap Ferry. Ada beberapa penyebab produk herbal lebih disukai oleh konsumen.
Diyakini lebih aman, dapat dipakai untuk seluruh keluarga, sejalan dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat (jamu, ayurvedic, kampo, dan sebagainya), serta kualitasnya yang baik dan khasiatnya cukup manjur. Juga, karena harga lebih terjangkau, dan distribusi yang luas atau mudah didapat. Dari fenomena ini, lanjut Ferry, dapat ditarik benang merah bahwa industri farmasi Indonesia cukup berminat untuk mengembangkan obat herbal. Sebab bahan baku yang dibutuhkan sangat berlimpah, produk dan kompetensi juga tersedia. ”Dari sisi investasi juga tidak terlalu tinggi, hak kekayaan intelektual bisa dikembangkan, dan pasar yang sangat menjanjikan baik domestik maupun ekspor,” papar Ferry.
Kendala Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Wahono Sumaryono, mengatakan, pasar obat herbal nasional pada 2002 mencapai Rp 2 triliun dengan jumlah industri 1.012. Dari jumlah sebanyak itu, 907 diantaranya merupakan industri kecil atau industri rumah tangga dan 105 industri menengah ke atas. Pada 2004, jumlah industri meningkat menjadi 1.166 yang terdiri 129 industri menengah dan besar serta 1.037 industri kecil dan rumah tangga.
Ada tiga kategori sediaan obat alami yang diterapkan pemerintah yaitu jamur, herbal terstandar (telah lolos uji preklinik), dan fitofarmaka (lolos uji klinik). ”Namun jika dicermati, perkembangan obat alami di Indonesia atau obat asli Indonesia belum dapat dikatakan maju dalam hal mutu, penguasaan pasar, dan industrinya,” kata Wahono. Penyebab hal itu ada dua. Faktor internal (domestik) dan eksternal (pengaruh global). Faktor internal meliputi filosofi dasar pengembangan obat asli Indonesia belum terbangun dan pola pengadaan bahan baku (agroindustri tanaman obat) yang belum berkembang sehingga potensi yang melimpah belum tergarap dengan baik. Struktur industri obat tradisional Indonesia yang belum kuat dengan kesenjangan cukup besar antara industri besar dan kecil juga menjadi salah satu faktor kendala.
Sedangkan kendala di eksternal meliputi pesatnya perkembangan industri herbal di berbagai negara, baik Asia maupun Eropa, yang berakibat membanjirnya produk luar di pasar lokal dengan mutu dan kemasan yang lebih baik. ”Berlakunya kesepakatan global tentang pasar global dan berbagai bentuk harmonisasi regional untuk berbagai bidang. Ini sebenarnya merupakan suatu peluang tetapi sekaligus ancaman,” kata Wahono menegaskan.
Mencermati kondisi tersebut, ujar Wahono, selain upaya penyiapan strategi dan penyempurnaan regulasi dan penguatan komitmen, aspek penguasaan dan penerapan iptek dalam pengembangan obat alami menjadi keharusan. Dalam hal ini, mutu produk menjadi salah satu kunci dalam persaingan pasar global. Secara garis besar ada tiga kelompok teknologi yang perlu diterapkan dan dikembangkan.
Kelompok teknologi untuk pengadaan bahan baku (ekstrak) yang meliputi teknologi budidaya, teknologi panen dan paska panen, teknologi ekstraksi, dan teknik analisa mutu ekstrak. ”Teknologi lainnya yang dibutuhkan adalah kelompok teknologi untuk proses pembuatan sediaan. Ini meliputi uji farmakologi, formulasi sediaan. Yang tak kalah pentingnya adalah teknologi dalam penyajian dan pengemasan,

Butuh obat-obat herbal murah dan berkualitas ? Klik aja disini yaaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar